Riwayat Ibnu Ishaq Dalam Sirah Nabawiyah dan Kontroversinya
Jika kita telisik lebih dalam sejarah kenabian (Sirah Nabawiyah), kita akan menemukan fakta bahwa periwayatan hadis mempunyai andil besar dalam terlahirnya sejarah tersebut. Bisa dikatakan sejarah kenabian serta penulisanya adalah kepanjangantangan dari hadis serta kodifikasinya. Hal ini karena standar yang digunakannya menitikberatkan pada riwayat, sanad dan kredibilitas perawi (penutur sejarah) sebagaiman aturan dalam Hadis.
Dari sederet nama sejarawan islam, Ibnu Ishaq termasuk salah satu dari mereka yang mempunyai prestise dan sosok yang diperhitungkan. Keuletanya dalam mempelajari sejarah, -khususnya kehidupan dan peperangan Nabi Muhammad- serta mencari riwayat membuatnya menjadi sejarawan nomor wahid di zamannya.
Jika di masa sebelumnya sejarah kenabian hanya riwayat-riwayat yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis dan tidak berurutan, maka Ibnu Ishaq datang dengan membawa ‘wajah baru’ dalam sejarah kenabian dengan karya monumentalnya yang bertajuk al-Maghazi. Kitab tersebut banyak mengilhami para sejarawan setelahnya dalam menyusun kitab sejarah. Hal ini karena banyaknya riwayat yang ia himpun dan metodenya dalam meyusun kitab berdasarkan pada tahun kejadian. Capaian besarnya itu, dapat kita lihat dari sanjungan Imam Syafi’i tentangnya, “Barang siapa yang ingin mendalami ilmu Maghazi[1], maka dia butuh kepada Ibnu Ishaq.”[2]
Tapi semua sumbangsihnya dalam sejarah dan pujian ulama kepadanya tak lantas membuatnya lepas dari kritikan, baik yang diarahkan kepada pribadinya sebagai perawi, akidah yang dia yakini, dan kitab yang dikarang.
Hal ini lantas membuat Ibnu Ishaq menjadi sosok yang kontroversial. Dalam ilmu Hadis, riwayatnya masih menjadi polemik, antara ulama yang pro serta welcome dengan riwayatnya dan ulama yang mendhaifkannya. Imam Malik dan Hisyam bin Urwah merupakan dua pemuka Hadis yang melabelinya sebagai pendusta. Tentu hal ini bukan tanpa alasan. Hisyam bin Urwah mendustakannya karena Ibnu Ishaq mengaku pernah meriwayatkan hadis dari istrinya, Fatimah binti al Mundzir. Padahal Hisyam bersaksi bahwa istrinya tidak pernah bertemu dengan seorang lelaki hingga dia meninggal. Sedangkan alasan penolakan Imam Malik adalah kecenderungannya dalam mencari riwayat tentang peperangan Nabi dari orang Yahudi. Dalam hal akidah, sebagian ulama menuduhnya sebagai pengikut Qadariyah, Mu’tazilah dan Syiah[3].
Persoalan Ibnu Ishaq tidak sampai di sini. Kitabnya pun tak luput menjadi target kritikan. Hal ini ditengarai kerancuan-kerancuan yang termuat di dalamnya. Secara umum, kerancaun-kerancuan itu bisa dibulatkan menjadi empat poin. Pertama, banyaknya riwayat yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan dia menyebutnya sebagai ba’dhu ahli al-ilmi. Kedua, bertebarnya syair-syair palsu yang tidak memiliki sumber valid sebagaimana pengakuan Ibnu Hisyam dalam kitabnya[4]. Ketiga, kekeliruan penyebutan sanad. Keempat, seringnya ditemukan tadlis, mukhalafah, syudzudz dan al-Jam’u baina al-syuyukh[5] dalam riwayat yang disitirnya.
Dari uraian di atas, kita bisa mengetahui kredibiliats Ibnu Ishaq sebagai perawi dan orisinalitas kitabnya sebagai sumber pokok dalam penggalian Sirah Nabawiyah. Jika demikian, apakah sejarah kenabian yang ada sekarang dapat dipertanggungjawabkan, mengingat sosok Ibnu Ishaq dan kitabnya yang masih diperdebatkan?.
Menanggapi hal tersebut, alangkah baiknya jika kita menyimak pendapat para ulama yang sudah tidak diragukan lagi kadar keilmuanya. Klaim dusta Hisyam bin Urwah kepada Ibnu Ishaq karena kesaksianya perihal istrinya yang tidak pernah bertemu seorang lelaki, dibantah oleh Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa ucapan Hisyam bin Urwah tidak dapat meruntuhkan kredibilitas Ibnu Ishaq. Karena sejak dahulu para Tabiin meriwayatkan hadis dari Sayidah Aisyah tanpa harus melihat kepadanya[6].
Sedangkan tuduhan sebagai pengikut Qadariyah , Syiah ataupun Mu’tazilah, sebagian ulama mengatakan bahwa itu hanya klaim asumtif yang perlu dikaji ulang. Karena bisa jadi Ibnu Ishaq hanya mengikuti sebagian pendapat kelompok tersebut, kemudian orang lain menuduhnya sebagai pengikutnya. Hal ini senada dengan pernyataan Muhammad bin Abdullah bin Numair, “Ibnu Ishaq dituduh sebagai Qadariyah, padahal dia orang yang paling menjahuinya”[7].
Megenai periwayatan Hadis dari orang Yahudi, Imam ad-Dzahaby menanggapinya dengan menukil Hadis Nabi, “Riwayatkanlah Hadis dari Bani Israil dan kalian tidak bersdosa”. Adapun terkait banyaknya syair palsu yang ada di kitabnya, ad-Dzahaby berkata bahwa memang banyak sekali syair-syair serupa dalam diskursus Sirah Nabawiyah. Sedangkan kekeliruan penyebutan sanad, tadlis, mukhalafah, syudzudz, dan Jam’u baina as-syuyukh yang acap kali dilakukan Ibnu Ishaq, tidak dapat menggoyahkan kredibilitasnya sebagai perawi Hadis, lebih-lebih dalam Sirah Nabawiyah. Bahkan Ibnu ‘Adi mengaku telah mengkaji hadis-hadis Ibnu Ishaq. Dia pun berkesimpulan bahwa tidak ditemukan hadis yang sudah pasti dihukumi dhaif. Ibnu Ishaq memang terkadang salah dan keliru sebagaimana yang lain, tapi hal itu tak lantas menjadikan ulama meninggalkan hadisya[8].
Di penghujung tulisan ini, kami ingin memaparkan kesimpulan Imam ad-Dazahaby saat mengulas biografi Ibnu Ishaq, ”Pada dasarnya, Ibnu Ishaq adalah seorang perawi kredibel, hadisnya tentang Maghazi lebih layak untuk diterima daripada riwayatnya yang berkaitan dengan hukum”[9].
Oleh: M. Arbi Syarbini
Referensi dan catatan kaki:
[1] Sejarah peperangan dan hidup Rasulullah
[2] Al-Baghdady, Abu Bakar al-Khatib, Tarikhu Baghdad, Darul Kutub al-Ilmiyah, I/219
[3] Muhammad Abdullah, Muhammad bin Ishaq, Darul Qalam, 33
[4] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, Darul Kitab al-Arabi, I/19
[5] Mengumpulkan beberapa perawi dalam satu redaksi Hadis
[6] Ibnu Hibban, al-Tsiqat, Darul Fikr, VII/381
[7] Ad-Dzahaby, Siyaru A’lam an-Nubala’, Muassasatur Risalah, 13/55
[8] Al-Mizzy,Tahdzib al-Kamal, Muassasatur Risalah, 24/427
[9] Ad-Dzahaby, Tarikh al-Islam, Darul Kitab al-Arabi, 9/591