Urgensitas Asbabun Nuzul Dalam Memahami Ayat-Ayat Allah
“Keterangan terkait asbabun nuzul adalah jalan yang kuat untuk memahami makna-mkana al-Quran ”. Kurang lebih seperti itulah Imam Ibnu Daqiqil Ied menjelaskan pentingnya memahami asbabun nuzul (sebab turunya ayat) dalam mengkaji ayat-ayat al-Quran, sebagaimana dikutip oleh banyak ulama sebut saja Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqon fi Ulumi al-Quran.[1]
Asbabun nuzul adalah suatu ungkapan atas peristiwa yang terjadi di masa Nabi Muhammad saw yang kemudian menjadi asal muasal turunnya satu atau beberapa ayat al-Quran. Termasuk juga sebuah pertanyaan dari para shahabat kepada Nabi Muhammad saw yang selanjutnya turunlah ayat sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.[2]
Dari definisi di atas, asbabun nuzul menempati posisi yang urgen dalam memahami makna ayat-ayat suci. Karena dari asbabun nuzul ada beraneka ragam faidah yang dapat kita petik untuk membantu memahami kandungan ayat-ayat suci al-Quran dengan baik dan benar sesuai undang-undang syariat.
Mengetahui Maksud Sebuah Ayat
Banyak dijumpai ayat al-quran yang tidak dapat dipahami secara benar bila hanya melirik kepada teks ayat tanpa meneliti secara mendalam asal muasal turunnya ayat tersebut. Sehingga banyak dari para pengkaji al-Quran salah arah dalam memahami makna suatu ayat. Kita ambil contoh al-Quran surat al-Baqarah ayat 115:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah (kekuasaan-Nya). Sungguh Allah Maha Luas(rahmat-Nya) dan Maha Mengetahui.” (QS. al-baqarah: 115)
Dari zahirnya ayat, kita akan memahami bahwa diperbolehkan melaksanakan shalat dengan menghadap ke seluruh arah, dan tidak ada kewajiban untuk menghadap ke arah kiblat, baik saat berstatus muqim ataupun musafir. Pemahaman yang sedemikian ini mengusik pemahaman pada surat al-Baqarah ayat 144 yang berupa:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Artinya: “kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan kami palingkan engka ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram. Dan dimana saja engkau berada hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab (Taurat dan injil) tahu bahwa(pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka jalankan.” (QS. al-Baqarah: 144)
Dalam ayat di atas dijelaskan, wajib bagi orang yang shalat untuk menghadap kiblat(Ka’bah).[3] Nah, setelah kita meneliti sebab turunnya ayat ke-115 pada surat al-Baqarah kita menemukan satu ruang pemahaman yang dapat menyelesaikan kerancuan ini. Yakni, ayat tersebut turun ketika Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan dari kota Makkah ke Madinah. Lalu, dalam perjalanan tersebut Nabi melaksanakan shalat di atas kendaraan dengan menghadap kemanapun kendaraan itu berjalan. Oleh karenanya, konteks ayat tersebut berbicara tentang seseorang yang sedang berstatus musafir dan diberi keringanan untuk tidak menghadap kiblat.[4]
Oleh karenanya, diperlukan memahami asbabun nuzul ayat tersebut terlebih dahulu sebelum memahami makna ayatnya agar tidak terjadi kerancuan dan saling mematahkan antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Mengetahui Hikmah Suatu Hukum
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Artinya: “Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka tidakkah kamu mau berhenti.”(QS.al-Maidah: 91)
Ada hikmah penting yang bisa kita petik dari asbabun nuzul ayat di atas. Yaitu,hikmah larangan meminum khamr. Diriwayatkan dari shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa, beliau pernah mendatangi segolongan dari shahabat Anshar dan Muhajirin. Lalu, Sa’ad bin Abi Waqqash diajak untuk ikut minum khamr (sebelum dilarang) bersama mereka, beliaupun mendatanginya dan ikut serta meminum khamr yang telah ada.[5] Di sela-sela waktu Sa’ad bin Abi Waqqas berkata, “Kaum Anshar lebih baik dari kaum Muhajirin.” Tiba-tiba salah seorang dari mereka mengambil sebuah tongkat dan terjadilah percekcokan antara keduanya. Akhirnya Sa’ad bin Abi Waqqash menceritakan peristiwa tersebut pada Rasulullah saw. Dan turunlah ayat di atas.[6]
Dari asbabun nuzul tersebut dapat dimengerti hikmah yang terkandung dalam larangan meminum khamr yakni, akan menimbulkan permusuhan antara satu dengan yang lain yang diprakarsai oleh tipu daya setan.
Kesimpulannya, ada banyak hal yang menuntut seseorang untuk memahami asbabun nuzul terlebih dahulu sebelum jauh memahami ayat-ayat suci al-Quran dengan penjelasan yang telah disampaikan di atas. Dan terasa aneh bila seseorang ingin memahami makna sebuah ayat lebih-lebih ingin mendalami isi suatu ayat tanpa mempelajari terlebih dahulu sebab-sebab munculnya ayat tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Wahidi “Tidak mungkin untuk mengetahui tafsir suatu ayat tanpa memahami kilas balik yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut.”[7] Wallahu a’lam
Oleh: Zainulloh
Referensi:
[1] Imam Jalaluddin Abdi ar-Rahman as-Suyuthi, al- Itqan fi Ulumi al-Qur’an hal.3 cet. DKI.
[2] Syekh Abdul Fath Abul Ghani al-Qadiy, Asbabun nuzul an as-Shabat wa al-Mufassirin hal.5 Cet. Dar as-Salam.
[3] Imam Jalaluddin Abdi ar-Rahman as-Suyuthi, Imam Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain, hal, 21 cet. al-Haramain.
[4] Imam az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumi al-Qur’an vol.I hal, 29.
[5] Peristiwa ini terjadi sebelum diharamnya meminum khamr
[6] Imam al-Wahidi, Asbabun nuzul vol. I hal. 138. Versi maktabah syamilah
[7] Syekh Abdul Fath Abul Ghani al-Qadiy, Asbabun nuzul an as-Shabat wa al-Mufassirin hal.7 Cet. Dar as-Salam.