Apapun Masalahnya, Komunikasi Solusinya
Baru-baru ini ramai perbincangan terkait konflik di Pulau Rempang yang berujung bentrok dengan aparat. Pemerintah daerah telah melakukan pengusiran paksa dengan menyiramkan gas air mata kepada 16 kampung tua beserta sekolah yang terdapat di Pulau Rempang. Sekalipun tidak memakan korban jiwa, pengusiran ini dianggap melanggar HAM. Tak hanya sampai di situ, cagar budaya dan makam kuno juga terancam disikat habis akibat adanya proyek pembangunan ini.
Mulanya hal ini berasal dari keputusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang memutuskan untuk melakukan pembangunan Rempang Eco City. Penawaran yang diberikan oleh pemerintah pusat pun ditengarai penuh dengan polemik. Hal ini dikarenakan relokasi dan kompensasi kepada masyarakat Pulau Rempang ini dinilai tidak layak. Kompensasi yang ditawarkan hanya sebesar Rp 120.000.000 dan relokasi rumah tipe 45 dengan luas tanah 500 persegi di Kota Batam
Tentunya, harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya di pulau Rempang sangat berbeda jauh dan cenderung lebih tinggi dengan Kota Batam yang menjadi tujuan relokasi. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Pulau Rempang ini adalah nelayan yang sangat bergantung pada hasil laut. Hal ini dianggap semakin menyulitkan kehidupan penduduk Pulau Rempang ke depannya dan terasa tidak adil.
Sebenarnya jika menilik sejarah, Rasulullah sudah mengajarkan bagaimana tata cara berkomunikasi dan berdiplomasi yang baik. Di perjanjian Hudaibiyah contohnya. Kala itu rombongan Nabi Muhammad yang menuju Makkah untuk melakukan ibadah haji dihalangi oleh pemuka kaum kafir Quraisy. Saat itu memang keadaan perang sedang memanas dan umat Islam terancam tidak bisa melakukan ibadah haji jika tidak berdamai dengan kafir Quraisy. Di sinilah Nabi Muhammad bernegosiasi dengan tetua kafir Quraisy dan hasilnya rombongan Nabi pun diperbolehkan memasuki Kakbah.
Tak sampai di situ, urusan komunikasi juga telah dijelentrehkan di dalam al-Quran. Tafsir Ibnu Katsir begitu detail menjelaskan dalam al-Quran Surah an-Nisa’ ayat 35 yang berkaitan dengan prahara rumah tangga yang begitu pelik. Abdurrazaq mengatakan, Ma’mar menceritakan, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas mengatakan, “Aku dan Mua’wiyah pernah diutus sebagai hakam.” Ma’mar melanjutkan, yang mengutus keduanya adalah Khalifah Utsman. Khalifah Utsman berkata kepada keduanya, “Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, maka kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya.”
Sebetulnya, pertikaian macam apapun bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Dari urusan perjanjian Hudaibiyah dan urusan rumah tangga yang awalnya hangat hingga mulai terasa dingin. Mungkin, menyikapi kasus Pulau Rempang di atas, perlu komunikasi intens antara kedua belah pihak. Jika sudah keadilan yang dibahas, maka kekerasan bukanlah jalan pintas. Pepatah Madura mengatakan, “Mon bedeh masalah, oreng tuah ngajerin saleng tojhuk, benni saleng soddhuk.” (Kalau ada masalah, orang dulu mengajarkan kita untuk saling berkomunikasi, bukan malah saling melukai).
Oleh: Risqi Mubaraq