MELIHAT WANITA YANG HENDAK DIPINANG
Lelaki yang hendak menikah perlu memilih pasangannya dengan selektif, baik dari segi dzahir ataupun dari segi batin. Lelaki dianjurkan agar menikai perempuan yang cantik sebagaimana keterangan dalam ayat:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (QS. An-Nisa’: 3).
Dalam menafsiri lafadz “thaba” dalam ayat tersebut, imam Suyuthi menyampaikan bahwa: “Sunnah untuk menikahi perempuan yang cantik sebab lebih menjaga pada pandangan si suami”[1]
Di samping itu, lelaki juga dianjurkan untuk menikahi wanita yang subur agar ia dikaruniai keturunan dari pernikahannya. Rasulullah shallallhu alaihi wasallam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Menikahlah kalian dengan perempuan yang paling dicintai dan paling banyak memberi keturunan. Sebab, aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian atas umat-umat lain pada hari Kiamat.” (HR Ahmad).
Ulama telah menuntun lelaki untuk mengetahui kecantikan seorang perempuan yang ingin ia pinang. Mereka menganjurkan agar lelaki yang hendak menikahi seorang perempuan agar melihat wajahnya untuk mengetahui kecantikannya dan melihat kedua telapak tangannya untuk mengetahui kehalusannya dengan syarat ia tahu bahwa si perempuan tidak berstatus istri orang atau dalam keadaan melaksanakan iddah dan tidak berprasangkan pinangannya akan ditolak[2].
Kesunnahan untuk melihat wajah dan kedua telapak tangan tersebut berdasakan pada hadis yang diwayatkan oleh sahabat Jabir. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلْيَنْظُرْ إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا
“Jika salah satu dari kalian ungin meminang seorang perempuan, maka lihatlah wajah dan kedua telapak tangannya”[3]
Hadis ini diperkuat oleh firman Allah subhanahu wata’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nur: 31)
Dalam menafsiri lafadz “ma dzahara minha” imam Syafi’I mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana tafsiran imam Hasan, Sa’id bin Jubair dan Atha’.[4]
Akhir-akhir ini ada beberapa tokoh yang berani membantah hukum ini. Salah satunya adalah syekh Mushthafa Mu’awwadl. Ia mengatakan bahwa: “Dari dzahir hadisnya Rasulullah, anjuran untuk melihat perempuan yang ingin dinikahi tidak hanya terbatas pada wajah dan kedua telapak tangan saja, namun stari’at menganjurkan untuk melihat badan yang biasanya tampak dari seorang perempuan di dalam rumah seperti rambut, leher dan betisnya.”
Ia mengatakan bahwa: “Pembatasan melihat perempuan yang ingin dinikahi pada wajah dan kedua telapak tangan adalah pembatasan tanpa dalil dan bertolak belakang dengan pekerjaan para shahabat dahulu.”[5]
Selanjutnya ia memberikan contoh salah satu shahabat yang melihat betis perempuan yang hendak ia nikahi. Yakni, Sayidina Umar. Ketika beliau ingin menikahi Ummu Kultsum, putri sayydina Ali, ia melihat betisnya, sontak Ummu Kultsum pun marah dan berkata: “Andai kau bukan Amiril mu’minin (pemimpin orang-orang mukmin), niscaya aku pukul kedua matamu.”
Lalu bagaimana kita membantahnya? Kita perlu meneliti terlebih dahulu kebenaran cerita yang ia sampaikan. Cerita tersebut diriwayatkan oleh Abu Ja’far dan dikutip oleh Said bin Manshur[6] dan Abdur Razzaq.[7] Hadis ini tergolong hadis “munqhathi’” (sanadnya terputus) sebab Abu Ja’far bisa dipastikan tidak pernah bertemu dengan Sayidina Umar, sebab ia lahir pada tahun 56 H sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Al-Barqi, sedangkan Sayidina Umar wafat pada tahun 23 H sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqallani.[8]
Dalam riwayat yang lain, cerita ini disampaikan oleh Al-A’masy dan dikutip oleh Abdur Razzaq.[9] Namun, riwayat ini juga dianggap “munqhathi’” sebab Al-A’masy juga dipastikan tidak pernah bertemu dengan Sayidina Umar, sebab ia lahir pada tahun 61 H, ada yang mengatakan ia lahir pada tahun 59 H.[10] Bisa jadi Al-A’masy menggugurkan salah satu shahabat dalam sanad hadis tersebut, namun, imam As-Suyuthi mengatakan bahwa: “Hadis “mursal” (menggugurkan perawi dari kalangan shahabat) yang diriwayatkan oleh Al-A’masy tidaklah kuat”[11]
Sebenarnya, pendapat yang ia sampaikan selaras dengan pendapat imam Hanbal yang diriwayatkan dari Imam Ahmad berdasarkan hadis tersebut. Namun, imam Shalih menyatakan bahwa: “Lelaki hanya boleh melihat wajah perempuan yang hendak ia nikahi” sebagaimana keterangan yang ia riwayatkan dari imam Ahmad. Qadhi Abu Ya’la mengatakan bahwa: “Pendapat pertama adalah pendapat yang shahih, sebab wajah sudah mewakili kecantikan seorang perempuan”[12] dan diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah. Rasulullah bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Perempuan adalah aurat”[13]
Pendapat ini sama dengan pendapat yang disampaikan oleh imam Al-Mardawi, beliau mengatakan bahwa: “Imam Ahmad hanya meriwayatkan satu pendapat saja, yakni; anjuran melihat wajah perempuan yang ingin dinikahi saja.”[14]
Oleh: Redaksi IstinbaT
[1] As-Suyuthi, Abdurrahman bin Muhammad. Al-Iklil fi-Istinbathit-Tanzil.Hal: 76
[2] Al-Malibari, Ahmad bin Muhammad Ghazali. Fathul -Mu’in. Hal: 446
[3] Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. Al-Hawi al-Kabir. II/94
[4] Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. Al-Hawi al-Kabir. II/94
[5] Mu’awwadl, Mushthafa. Mafhumu al-Ikhtilath Baina al-Jinsaini. 117
[6] Sa’id bin Manshur. Sunanu Sa’id bin Manshur. I/ 147
[7] Abdur Razzaq. Al-Mushannaf. VI/ 163
[8] Al-Asqallani. Ali bin Muhammad. Taqrib at-Tahdzib. II/54
[9] Abdur Razzaq. Al-Mushannaf. VI/ 163
[10] Al-Asqallani. Ali bin Muhammad. Tahdzibut-Tahdzib. IV 197
[11] As-Suyuthi, Abdurrahman bin Muhammad. Tadribur-Rawi. I/ 205
[12] Al-Qadhi, Abu Ya’la. Al-Masa’il al-Fiqhiyah. II/ 78
[13] Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah. Al-Mughni. IX/491
[14] Al-Mardawi, Ali bin Sulaiman. Al-Inshaf. VIII/ 18