Mempertimbangkan Maslahah atau Mafsadah yang Dominan dalam Penetapan Hukum

Jika beberapa maslahah saling bertentangan maka yang diperhatikan adalah yang tertinggi. Begitu juga menolak mafsadah yang paling tinggi jika ada pertentangan dalam beberapa mafsadah.

Yang dikehendaki dengan maslahah di sini adalah menjaga tujuan syariat yang lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, sedangkan yang dimaksud mafsadah adalah sebaliknya.

Syekh Izzuddin bin Abdissalam membagi tingkatan perbedaan antara maslahah menjadi: kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan penyempurna. Pembagian ini juga berlaku dalam mafsadah.[1]

Pada dasarnya setiap maslahah itu diwujudkan dan setiap mafsadah itu dihilangkan. Namun, jika dua maslahah bertentangan sehingga keduanya tidak dapat dicapai bersama, maka pertimbangan diberikan pada maslahah yang lebih tinggi nilainya untuk dicapai, meskipun ini mengakibatkan pengorbanan maslahah lain yang lebih rendah.

Begitu juga, jika dua mafsadah bertentangan sehingga keduanya tidak dapat ditolak bersama, maka pertimbangan diberikan pada mafsadah yang lebih tinggi nilainya untuk ditolak, meskipun ini mengakibatkan melakukan mafasid lain yang lebih rendah.

Dalil-dalil adanya tingkatan dalam maslahah dan mafsadah :

  • Firman Allah:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” ( QS an-Nisa’: 31)

Ayat ini menggambarkan pembagian dosa menjadi besar dan kecil, yang merupakan mafsadah yang berbeda.[2]

  • Hadis :

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا : شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ … الْحَدِيثُ

“Iman itu memiliki tujuh puluh cabang, atau enam puluh cabang, yang paling utama adalah mengucapkan ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’, dan yang paling rendah adalah mengangkat gangguan dari jalan “

Menurut Imam Ibnu Hajar Hadis ini menunjukkan bahwa tingkatan maslahat itu berbeda yang dalam hal ini berupa keimanan.[3]

Dalil mengambil maslahat tertinggi dan menolak yang tertinggi dari mafsadah:

  • Firman Allah (artinya): “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya ” (QS. Al-Baqarah: 219).

Dalam ayat ini, syariat tidak menghiraukan adanya manfaat dalam khamar dan judi, karena lebih dominannya dosa yang terkandung di dalamnya, sehingga kemaslahatan dalam mengharamkannya lebih utama dari kemaslahatan dalam melegalkannya.

  • Perjanjian Hudaibiyah, yang saat itu Nabi Muhammad setuju untuk tidak melakukan umrah pada tahun itu dan mengembalikan siapa pun dari orang Quraisy yang datang kepada Nabi, meskipun mereka telah memeluk Islam, dan bahwa siapa pun orang Islam yang datang terhadap mereka tidak akan ditolak, dan juga perjanjian-perjanjian yang lain.

Isi perjanjian ini menurut para shahabat adalah mengorbankan mafsadah yang lebih kecil berupa kemaslahatan terhadap orang-orang musyrik, demi menolak mafsadah yang lebih besar berupa menyakiti penduduk Mekah yang lemah, serta mewujudkan maslahah yang lebih besar berupa maslahatnya dan dakwah dan tersebarnya Islam, sehingga beberapa ulama Fikih berpendapat perjanjian Hudaibiyah ini merupakan asal dari kaidah ini[4]

  • Hadis tentang seorang Badui yang buang air di masjid, kemudian orang-orang mencegahnya, lalu Nabi bersabda kepada mereka; “Biarkan saja dia dan tuangkan air ke atas air kencingnya,”

Menurut Imam Nawawi dalam Hadis ini terdapat penolakan mafsadah yang lebih tinggi dan membiarkan yang lebih rendah.[5]

Di antara cabang kaidah ini:

  1. Dimakruhkannya berlebihan dalam berkumur-kumur dan menghirup air bagi orang yang sedang berpuasa, meskipun itu disunahkan bagi yang tidak berpuasa.
  2. Memperbolehkan memotong perut bangkai untuk mengeluarkan janin yang masih hidup.

Ala kulli hal, kemaslahatan itu dituntut adanya, baik itu berupa kewajiban atau kesunnahan, sedangkan mafsadah itu sebisa mungkin ditolak.

Sehingga, jika sebuah pekerjaan di dalamnya mengandung dua kemaslahatan yang saling bertentangan, atau maslahah bertentangan dengan mafsadah yang dari satu sisi diperintah, dan dilarang dari sisi yang lain, dan hal ini tidak mungkin dicapai secara bersamaan, maka syariat menuntut mengambil yang unggul dan paling manfaat terhadap orang mukallaf.

Hal ini dilakukan, agar terhindar dari men-taklif perkara yang mustahil, serta menghasilkan kemaslahatan yang mulia, dan menolak bahaya yang agung bagi individu dan masyarakat.[6] Wallahu A’lam bihs-shawab.

Oleh : Faqihuddin / Sekred Istinbat


[1] Izzudin bin Abdissalam, Al Fawaid fi Ikhtisharil-Maqashid, 38

[2] Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar, al-Jami’ li-Ahkamil-Qur’an. V/158

[3] Al Haitami Ibnu Hajar, Fathul-Bari, I/69

[4] Izzudin bin Abdissalam, Qawaidul-Ahkam, I/109

[5] An Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf, Syarh Shahih Muslim, I/191

[6] Abdul Rahman bin Saleh, Al-Qawaid wadh-Dhawabit al-Fiqhiyyah al-Mustamirrah lit-Taysir, 102.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *