Menyikapi Hadis Seputar Keutamaan Maulid Nabi

Maulid Nabi merupakan salah satu momen yang dirayakan dan disambut dengan meriah oleh umat Islam pada umumnya. Maulid Nabi adalah salah satu bentuk ekspresi rasa cinta pada Rasulullah ﷺ. Acara maulid Nabi biasanya diisi dengan pembacaan sirah nabawiyah baik berupa natsar ataupun nazham.

Ulama yang pertama kali mengarang kitab maulid yang berisi sirah nabawiyah adalah Imam Ibnu al-Jauzi. Ia mengarang kitab “al-Arûs” pada abad ke-6 H. Kemudian Ibnu Dihyah juga mengikuti jejak langkahnya. Ibnu Dihyah mengarang kitab “at-Tanwîr” pada abad ke-7 H. Ia hadiahkan pada raja Muzhaffaruddin.[1] Mengarang kitab maulid sangat dianjurkan guna mengenalkan kemuliaan dan keagungan Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, Sa’ad bin Abi Waqqash selalu menceritakan kisah perjalanan hidup Rasulullah ﷺ pada seluruh putranya. Sebab, mengetahui hal tersebut merupakan cara yang paling mudah untuk meningkatkan kualitas keimanan dan pendorong yang paling kuat untuk menumbuhkan rasa cinta pada Rasulullah ﷺ.[2]

Dalam kitab maulid, sering kali kita temukan penyebutan beberapa kisah yang berlandaskan hadis yang statusnya diperselisihkan, bahkan diklaim sebagai hadis maudhu’ oleh sebagian ulama, seperti hadis berikut:

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرُ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ يَا جَابِرُ

 “Sesuatu yang diciptakan pertama kali oleh Allah adalah cahaya nabimu dari cahaya-Nya. wahai Jabir!

Dalam kitab al-Khashâish al-Kubrâ, Imam as-Suyuthi menisbatkan hadis ini pada Imam Abdur Razzaq. Begitu pula salah satu ulama Syinqith keturunan Syekh Muhammad Nashir ad-Dir’i dalam kitab At-Taujîh wal-I’tibâr ilâ Ma’rifatil-Qadri wal-Miqdâr. Setelah Sayyid Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari meneliti hadis ini, ia tidak menjumpainya di kitab hadis yang dihimpun oleh Imam Abdur Razzaq ataupun di kitab hadis lainnya. Ia mengklaim hadis tersebut sebagai hadis maudhu’.[3]

Begitu pula hadis populer berikut berikut:

لَوْلَاكَ مَا خَلَقْتُ الأَفْلَاكَ

 “Andai bukan karenamu, niscaya aku tidak akan menciptakan cakrawala.

كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ المَاءِ وَالطِّيْنِ

 “Aku menjadi nabi saat Adam masih berupa campuran air dan tanah liat.

Sayyid Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari juga mengklaim kedua hadis tersebut sebagai hadis maudhu’.[4]

                Sebagian ulama sangat berhati-hati dalam menyampaikan kisah Rasulullah ﷺ. Ada yang hanya menceritakan kisah yang berlandaskan hadis yang sahih saja, ada pula yang tidak membedakan antara kisah yang berlandaskan hadis yang sahih dengan lainnya. Imam Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanyakan mengenai hukum menyampaikan kisah Rasulullah ﷺ yang terkesan sedih. Misalnya, hadis yang mengisahkan beberapa perempuan dari Bani Sa’ad yang enggan menyusuinya sebab keluarganya miskin. Akhirnya, hanya Halimah as-Sa’diyah yang rela menyusuinya. Lalu Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjawab: “Cerita seperti ini tidak mengesankan kemuliaan dan keagungan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, justru mengesankan kesedihannya. Maka cerita seperti ini tidak layak disampaikan bahkan wajib disimpan.[5]

                Dalam kitab maulid, hadis maudhu’ tidak hanya berupa hadis yang memuat kisah perjalanan hidup Rasulullah ﷺ saja, melainkan juga berupa hadis yang memuat keutamaan merayakan maulid Nabi. Syekh Isma’il Usman Zain al-Yamani al-Makki pernah ditanyakan mengenai status dua hadis berikut:

مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ لَهُ شَفِيْعًا يَوْمَ القِيَامَةِ

 “Barang siapa yang mengagungkan waktu kelahiranku maka aku akan memberikan syafa’at padanya di hari kiamat

مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِي مَوْلِدِيْ فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جَبَلًا مِنْ ذَهَبٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ

 “Barang siapa yang bersedekah satu dirham di waktu kelahiranku sama halnya seperti bersedekah satu gunung yang terbuat dari emas di jalan Allah[6]

Menanggapi pertanyaan ini, beliau menjawab: “Tanda-tanda hadis maudhu’ sangat tampak pada kedua hadis tersebut. Memang, sebagian ahli fikih seperti Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi kadang tidak terlalu ketat dalam klasifikasi hadis yang disampaikan dalam kitab mereka. Mereka hanya memperhatikan makna yang terkandung di dalamnya. Mungkin, kedua hadis tersebut adalah susupan oknum yang tidak bertanggung jawab atau hadis yang didapat melalui mimpi ulama yang arif billah. Namun, hadis seperti ini tidak bisa dibuat dalil dalam menetapkan hukum syariat, tidak boleh diriwayatkan dengan shighat jazm serta harus menyebutkan referensinya.[7]

Oleh: Irfan/Pemred Istinbat


[1] Muhammad Zaky Ibrahim. Fiqhush-Shalawat wal-Mada’ih an-Nabawiyah, 107

[2] Ahmad Zaini Dahlan. As-Sirah an-Nabawiyah, I/12

[3] Al-Ghumari, Abdullah bin Muhammad. Irsyaduth Thalib an-Najib, 447

[4] Ibid

[5] As-Suyuthi, Abdurrahman. Tanzihul-Anbiya’ ‘an Tasfihil-Aghbiya’, 445

[6] Al-Bantani, Muhammad Nawawi. Madarijus-Su’ud fi Iktisa’il-Burud. 5

[7] Al-Yamani, Ismail Usman Zain. Qurratul-Ain, 42

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *