Ketika Burung Bersarang di Rumah ALLAH
Prolog
Masjid merupakan baitullah yang harus selalu kita jaga kehormatan dan kesuciannya. Tidak boleh bagi siapapun membawa benda najis ke dalam masjid. Namun, sering kita temukan beberapa masjid yang bukan hanya menjadi tempat ibadah, melainkan juga menjadi sarang dan tempat tinggal bagi berbagai macam burung. Tak jarang kita temukan burung-burung yang membuang kotoran di lantai maupun karpet masjid. Hal tersebut jelas mengganggu kenyamanan jamaah yang sedang melakukan ibadah. Lantas bagaimana pandangan syariat mengenai fenomena tersebut?
Pembahasan
Secara umum, fenomena di atas sering terjadi di berbagai masjid yang ada di sekitar kita. Sangat sulit bagi kita terutama bagi takmir dan marbot masjid untuk menghindari hal tersebut. Dalam hal ini, tentu syariat memaklumi fenomena di atas. Karena syariat menghendaki kemudahan dalam beribadah. Hal tersebut sesuai dengan ayat yang berbunyi :
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan atas kalian.” (Q.S al-Baqoroh 185)
Dari ayat di atas, para ulama berijtihad dan menghasilkan kaidah :
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“kesulitan akan menarik kemudahan”
Seperti yang kita ketahui, bahwa segala macam kotoran, termasuk kotoran burung hukumnya najis. Namun, jika kotoran burung tersebut banyak terjadi di berbagai masjid dan sulit dihindari maka ulama mentolelir (dimakfu) kotoran burung yang ada di masjid. Sehingga, tidak masalah jika para jamaah masjid menginjak atau bahkan shalat di lantai masjid yang terkena kotoran burung. Seandainya para jamaah dipaksa untuk mensucikan tempat yang terkena najis, tentu hal ini dianggap keberatan. Padahal syariat tidak menginginkan demikian.
Ulama menjelaskan, kotoran burung tersebut bisa di-makfu karena sulit dihindari (مشقة الإحتراز). Ada sebagian ulama menggunakan redaksi (عموم البلوى) yang berati banyak terjadi. Dari alasan tersebut, ulama berbeda pendapat mengenai batasan (dhabit) sulit dihindari dalam masalah kotoran burung di atas. Menurut Imam ar-Ramli yang dimaksud dengan masyaqqah ihtiraz dalam hal ini adalah banyak terjadi di tempat yang dimaksud. Sekiranya jika kita dipaksa untuk berpindah ke tempat lain, akan menyebabkan kesulitan1. Ada juga yang berpendapat yang dimaksud umumul balwa adalah tidak ada tempat yang tidak terkena najis yang mungkin dilewati tanpa ada kesulitan2. Bahkan Imam al-Halabi menjelaskan sekalipun kotoran burung sedikit dan tidak rata di tempat shalat tetap di-makfu3.
Lebih lanjut, menghukumi makfu kotoran burung yang ada di masjid harus memenuhi dua syarat ; Pertama, tidak ada unsur kesengajaan untuk menginjak kotoran burung. Kedua, kotoran burung dan kaki yang menginjak harus kering. Jika salah satunya basah maka najis tersebut tidak di-makfu. Ini pendapat Imam ar-Ramli yang mengutip pendapat ayahnya, ar-Ramli al-Kabir4. Akan tetapi, hal ini masih dianggap terlalu berat. Mengingat jarang sekali ditemukan kotoran burung yang kering. Maka dari itu, Imam Ibnu Abdil Haq berpendapat kotoran burung hukumnya makfu sekalipun basah. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh beberapa kibarul muhassyi5 seperti Imam Ali as-Syibramullisi6. Sayyid Abdurrahman Ba’alawi juga berkomentar dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin bahwa tidak masalah jika kaki yang menginjak kotoran burung masih basah asalkan basahan tersebut memang dibutuhkan, seperti kaki yang basah disebabkan air wudlu atau keringat7.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kotoran burung yang ada di tempat shalat seperti masjid hukumnya makfu. So, kita tidak perlu khawatir lagi untuk shalat di tempat yang banyak kotoran burung. Wallahu a’lam.
Oleh:Redaksi
Refrensi:
- Al-Bujairimi, Sulaiman bin Muhammad, Hasyiyah Bujairimi ‘alal Khatib, II/93.
- Al-Bujairimi, Sulaiman bin Muhammad, Hasyiyah Bujairimi ‘alal Khatib, II/94.
- Ibid.
- Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Nihayatul Muhtaj, I/460.
- Ulama besar yang mengkomentari kitab-kitab syarah.
- As-Syibramullisi, Ali, Hasyiyah Nihayatul Muhtaj, IV/460.
- Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 107.