MENGGAPAI HARAPAN YANG SEBENARNYA
الرَّجَاءُ مَا قَارَنَهُ عَمَلٌ وَاِلَّا فَهُوَ اُمْنِيَّةٌ[1]
“Harapan yang sebenarnya adalah harapan yang disertai pembuktian. Jika tidak, maka itu sebatas lamunan”
Harapan bisa membuka optimisme dan memberikan motivasi dalam menjalani hidup. Dengan memiliki harapan, kita akan lebih semangat dalam menjalani hidup dan tetap tegar dan pantang menyerah dalam menghadapi cobaan yang ada. Seperti yang kita ketahui, apa yang kita dapat terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Itulah mengapa, harapan yang terus tumbuh akan menjaukan kita dari rasa putus asa. Ketika rasa putus asa muncul, semua yang dikerjakan akan terasa berat dan tak ada semangat. Hal itu menyebabkan apa yang kita peroleh akan kurang maksimal.
Saat mendengar kata harapan, apa yang ada di pikiranmu? Seringkali orang berpikir bahwa harapan merupakan sebuah hal yang abstrak. Sebuah angan-angan, sebuah mimpi untuk mencapai sesuatu dan suatu hal yang akan dipatahkan ketika menghadapi realitas kehidupan yang seringkali tidak seindah atau semudah yang dibayangkan.
Memikirkan hal positif mengenai masa depan dapat membangkitkan semangat kita. Namun demikian, berharap bukan sekedar memikirkan hal-hal yang menyenangkan di masa depan. Harapan merupakan suatu tindakan yang aktif. Ketika kita berharap, kita akan memikirkan masa depan yang kita inginkan dengan disertai dorongan untuk bertindak. Keyakinan pokok dari orang yang penuh harapan seringkali meliputi dua hal berikut:
Pertama, keyakinan bahwa masa depan akan lebih baik dari pada masa kini. Kedua, mempunyai daya kuat untuk menciptakannya. Keyakinan kedua inilah yang membedakan harapan dengan angan-angan atau hanya keinginan belaka. Keyakinan bahwa kitalah yang memiliki daya untuk membuat masa depan menjadi lebih baik, berarti upaya-upaya kitalah yang menentukan pencapaian dari masa depan yang kita bayangkan.
Tiada harapan kecuali disertai dengan tindakan untuk menggapainya. Mereka yang tidak menyertakan harapan dengan tindakan, maka itu hanyalah angan-angan belaka tanpa adanya kesungguhan untuk mencapainya. apakah dengan berangan-angan akan memberikan solusi atas harapan? Tentu tidak.
Sebagai manusia, kita pasti memiliki harapan atau keinginan. sebab, orang yang mengharapkan sesuatu pasti dia akan mencarinya. Barang siapa yang takut terhadap sesuatu pasti akan lari dan tidak akan mencarinya.
Beda halnya, jika ada seseorang yang menginginkan sesuatu tapi dia tidak berusaha untuk mencapai keinginannya melainkan hanya berangan-angan saja. Dia hanya bisa mengkhayal dari apa yang dia inginkan sedangkan dia samasekali tidak berusaha mencapainya, maka harapan itu akan menjadi mustahil bagi dia untuk tercapai. Sering kita dengar mengenai harapan palsu. Seseorang menginginkan sesuatu tanpa disertai dengan tindakan yang mendorong tercapainya keinginan itu, bahkan air mata dusta akan timbul pada orang yang berharap tetapi tetap tidak ada pergerakan tubuh untuk berusaha menggapainya.
Manusia memiliki harapan serta memiliki tenaga untuk menggapainya. Tak hanya mengharap secara lisan dan hati saja, melainkan pergerakan tubuh kita untuk mencapai harapan itu sangat penting untuk dilakukan. Jika seseorang berharap dan berusaha untuk mencapai apa yang dia inginkan, maka itulah yang dinamakan harapan yang hakiki.
Dalam hadis dijelaskan:
عن أبي يعلى شداد بن أوس – رضي الله عنه – ، عن النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ. [رواه الترمذي][2]
Artinya :
Dari Abu Ya’la yaitu Syaddad bin Aus dari Nabi, bersabda: orang yang cerdas adalah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan mengharap kemurahan Allah (tanpa beramal shaleh).‘Ala kulli hal, harapan bisa kita capai dengan adanya tindakan yang bisa mendorong atas tercapainya keinginan atau cita-cita yang kita miliki.
oleh : M. Hasani
Referensi :
[1] Syarhul Hikam Ibnu Athaillah, hal 32
[2] At-Tajrid ash-Sharih, hal 45