“Bayang–Bayang Sikap Walid dalam Kehidupan Kita”
Beberapa bulan lalu lebih tepatnya pada 6 Maret hingga 5 April 2025, film berjudul ‘BIDAAH’1 menghebohkan dunia maya. Bagaimana tidak, film yang dirilis oleh negara tetangga ini banyak menampilkan adegan yang dianggap jauh dari norma-norma Islam yang sebenarnya. Wajar, jika film tersebut menuai banyak komentar negatif dari netizen Indonesia, khususnya. ‘’ Walid ‘’ sebagai salah satu karakter tokoh utama dari film ini, tepatnya sebuah panggilan murid kepada guru di wilayah kebangsaan melayu seperti Malaysia. Dengan ciri khas jenggotnya yang memanjang dan kepala berbalut imamah (sorban). Sekilas, perilaku dan gerak-geriknya mengindikasikan bahwa seorang guru memiliki otoritas penuh terhadap muridnya. Bila perlu, guru boleh memberi takzir seberat mungkin. Dalam narasi film, Seakan-akan murid sama persis posisinya dengan mayat di genggaman orang memandikan, sehingga tidak boleh menentang maupun menolak perintahnya. Sebaliknya, murid wajib menerima segala perlakuan guru dengan sukarela.
Hal yang dipaparkan di atas, salah satu dari sekian problem yang menggelantungi jiwa murid. Doktrin yang terlanjur mereka terima sejak dini yang berbunyi ‘’Guru harus ditaati semua aspek lini kehidupannya‘’ perlu dibenahi. Ironisnya, doktrin tersebut sudah lama mereka rangkul dari jenjang TK, SD hingga tanpa disadari hal itu menyatu dengan diri mereka.
Faktanya, Tidak semua lika-liku guru benar hingga kemudian dibenarkan, tanpa melalui koreksi atau adanya tegur-menegur. Banyak hal yang menjanggalkan bagi murid bila berhadapan dengan gurunya. Ada guru yang meminta muridnya untuk membelikan sesuatu, lalu murid takut untuk menyangkal permintaan tersebut berdalih su’ul adab hingga akhirnya ia terpaksa melaksanakan perintahnya, walau harga nominalnya di luar batas kemampuan mereka.
Ada juga yang berbentuk ketidakpahaman murid terkait materi yang dijelaskan guru kemudian murid mempunyai niat untuk membenarkannya. Namun, yang dikhawatirkan murid tindakannya akan terbilang kurang ajar, menjatuhkan, merusak reputasi atau nama baik guru yang dikritik. Lebih-lebih, kasus ini menimpa murid-murid pesantren yang notabene mengerti akan rendahnya murid jika mempertanyakan tindakan guru, kendati terdiri dari dua huruf, satu kata yaitu lima (mengapa).
Maka konsenkuensinya mereka tidak akan beruntung sepanjang masa. Perlu diingat, selagi kritik tadi berada di rel ketaatan maka sama sekali tidak dikategorikan su’ul adab. Sebab jika ada pengertian yang salah, lalu pengertian itu dibiarkan begitu saja tanpa ada kritikan atau koreksi maka betapa banyak kemudian kalangan awam yang akan tersesat bersebab pengertian tadi, dan jika ada orang yang tahu akan kesalahan pengertian tersebut tetapi ia malah diam karena alasan taat dan takut su’ul adab kepada guru atau orang tua misalnya, maka demikian ini bukan termasuk taat dan beradab yang benar melainkan sikap fanatik buta.
‘’al-Adab Fauqal ilmi‘’ pepatah ini tak jarang kita dengar, baik dari guru kita yang di pesantren atau dari orang berpidato di atas mimbar. Konteks ini mengerucut pada bab adab atau tata krama kita bersama manusia, tak terkecuali guru. Di Indonesia, Sebagian orang memiliki persepsi bahwa orang beradab karena ia mempunyai ilmu. Faktanya, tidak semua yang demikian mempunyai ilmu. Justru, banyak ditemukan orang yang tidak berilmu, tetapi memiliki prinsip untuk berakhlak baik.
Jika dalam konteks syariat, pepatah di atas tidak lagi menjadi pegangan. Melainkan menerapkan ‘’al-Imu fauqal adab‘’. Di saat kita semrawung, bersosial dengan sesama manusia maka adab dikedepankan. Namun, apabila kita di ranah syariat seperti dalam penentuan imam salat maka yang ditunjuk ia yang mengerti fikih atau ilmu agama. Kendati, ketika itu ada orang yang lebih tua umurnya.
Bisa ditarik kesimpulan, kedua pepatah tadi tidak bertabrakan dan bisa sama-sama digunakan. Tentunya melihat kondisi dan situasi tanpa menitikberatkan antara satu sama lain (proporsional). Sayangnya, seiring waktu berjalan dengan pesat. Moralitas bukannya kian membaik dan melekat pada masing-masing pribadi murid, justru kian memburuk dan menjadi hal tabu yang menyebar luas dikalangan para pelajar. Aneh tapi begitulah realita yang kita hadapi. Manusia sebagai makhluk sosial harus bisa menerapkan tata krama dengan baik sesama orang sekitar terlebih kepada orang tua dan guru. Entah apakah karena ketidakpahaman mereka terhadap makna adab atau adab sudah lekang dimakan oleh zaman.
Baca Juga: https://annajahsidogiri.id/bidaah-drama-religi-yang-menuai-kontroversi/
Saran ke depan untuk guru dan murid, seorang guru seyogyanya tidak memanfaatkan identitasnya sebagai pendidik. Sebaliknya, Ia harus meluruskan niat dalam mengajar dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk menegakkan agama Allah dan meneruskan syariat dibawa oleh Baginda Nabi Muhammad. Ilmu yang diajarkan kepada umat hendaknya tidak menjadi sarana meningkatkan popularitas demi kepentingan duniawi. Begitu pula, Bagi murid penting untuk memiliki sikap tawaduk dan benar-benar mendengarkan nasihat guru. Meski secara lahiriah berada di pihak yang salah, murid tetap wajib berusaha mencari hikmah dan kebenaran dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Sebab kekeliruan seorang guru lebih bermanfaat daripada mengikuti pendapat pribadi, meskipun benar. Namun jika suatu kesalahan berpotensi menimbulkan masalah yang besar, maka bersikap waspada adalah langkah yang lebih baik.
Oleh hal itu, para ulama terdahulu menganjurkan agar sebelum memulai belajar, hendaknya seseorang bersedekah dan berdoa demi keberkahan ilmu yang akan didapatkan. Doa yang sering diucapkan adalah: ‘’Ya Allah, tutuplah aib guruku dariku dan jangan engkau cabut keberkahan ilmunya dariku‘’.
Baca Juga: Syariat Menyikapi Adat
Oleh Mikyal Milad \ Istinbat