Bulan Madu di Tanah Suci
Pernikahan merupakan syariat yang masih berlaku dan tetap eksis sampai saat ini. Mulai dari pasangan pertama yakni nabi Adam dan Hawa selaku orang tua pertama umat manusia dan akan terus berlangsung sampai kelak di surga nanti.
Prosesi akad nikah boleh dilakukan kapan saja, selagi bukan dalam kondisi ihram. Syekh Ibrahim al-Bajuri menuturkan bahwa sunah untuk menggelar akad nikah pada bulan Syawal, sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah ﷺ ketika menikahi Sayidah Aisyah. Keterangan tersebut dapat kita jumpai dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sayidah Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخَلَ نِسَائُهَا فِي شَوَّالٍ
“Diriwayatkan dari Sayidah Aisyah RA, beliau berkata: Rasulullah menikahiku di bulan Syawal dan berkumpul denganku pada bulan Syawal, maka siapa di antara istri-istri Rasulullah yang lebih beruntung daripada diriku?” Perawi berkomentar: Sayidah Aisyah senang jika para wanita menikah di bulan Syawal (HR. Muslim no. 1423)
Atas dasar inilah al-Imam an-Nawawi ketika mensyarahkan hadis di atas menjelaskan bahwa sunah menikah, menikahkan dan menggauli istri pada bulan Syawal. Selain itu, bulan tersebut juga menjadi awal waktu miqat zamani bagi ibadah haji. Allah ﷻberfirman:
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٌ مَّعۡلُومَٰتٌ(البقرة 197)
Artinya: “Haji dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu” (QS. Al-Baqarah[2]: 197)
Syekh Ali ash-Shabuni dalam kitabnya Shafwatut Tafāsir menafsiri bulan tertentu yang dimaksud adalah bulan Syawal, Dzul Qadah dan sepuluh malam bulan Dzul Hijah.
Dengan selisih jarak yang dekat antara waktu anjuran menikah dan masa miqat zamani ibadah haji, belakangan ini sebagian kalangan umat Islam menjadikan tanah suci sebagai tujuan untuk menunaikan ibadah sekaligus momen berbulan madu. Apakah hal sedemikian akan berakhir indah atau malah menjadi masalah? Mari kita telaah!
Pasca pernikahan, pengantin baru sedang dalam fase penuh gairah menikmati perbuatan yang semula haram, menjadi legal dilakukan serta membuahkan pahala. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pasangan yang baru menikah khususnya dan umat Islam secara umum ketika hendak beribadah ke tanah suci bersama pasangan. Sebab di dalam konsep haji atau umrah terdapat hal-hal yang tidak boleh dikerjakan saat berstatus ihram walaupun hal-hal tersebut boleh dikerjakan di luar ihram.
Dalam kitabnya Mauhibatu Dzil Fadhal atau yang lebih familiar dengan nama Hasyiyah at-Tarmasi, Syekh Mahfudz at-Termasi mengurai beberapa perkara yang haram dikerjakan saat ihram. Pertama, keharaman yang terkait dengan pakaian, seperti memakai pakaian yang dijahit atau menutupi kepala bagi laki-laki serta menutup wajah bagi perempuan. Kedua, menggunakan minyak wangi. Ketiga, mengolesi rambut yang tumbuh pada wajah maupun kepala dengan minyak. Keempat, menghilangkan kuku atau rambut. Kelima, wathi’ (bersenggama) beserta foreplaynya. Keenam, mengusik hewan buruan. Ketujuh, melangsungkan akad nikah.
Baca Juga: LEGALITAS PRE-WEDDING DALAM SYARIAT
Dari beberapa poin yang telah diurai di atas, perkara yang sulit dihindari oleh pasangan baru adalah wathi’ dan segenap hal-hal yang mendahuluinya seperti mencium dan menyentuh pasangan dengan disertai syahwat. Namun, wathi’ yang dilakukan pasangan saat berstatus ihram tidak serta merta menjadi haram, sebab ada beberapa unsur lain yang perlu ditinjau.
Pertama, pasangan tersebut telah mengetahui hukum keharaman wathi’ dalam kondisi ihram dan melakukannya berdasarkan kehendak sendiri tanpa ada intervensi dari pihak lain. Kedua, wathi’ tersebut dilakukan sebelum tahalul awal dalam ihram haji, baik sebelum wuquf di Arafah atau setelahnya. Sedangkan dalam ihram umrah, wathi’ termasuk perkara yang haram dilakukan sebelum muhrim (orang yang ihram) merampungkan pekerjaan umrahnya. Demikian ini apabila umrah dilaksanakan secara terpisah dari haji. Sedangkan umrah yang pelaksanaannya digabung dengan haji maka status sah maupun fasadnya mengikuti haji, seperti halalnya wathi’ setelah tahalul awal meski muhrim belum menuntaskan pekerjaan umrahnya.
Apabila beberapa peninjauan tersebut terpenuhi maka senggama yang dilakukan di tengah ihram mengakibatkan status haji maupun umrah menjadi fasad (rusak). Kendati demikian muhrim tetap berkewajiban menyempurnakan ibadah haji maupun umrahnya, membayar dam dan segera mengqadhainya.
Dalam hal ini terdapat riwayat al-Imam al-Baihaqi dari Amr bin Syuaib dari ayahnya yang berarti:
“Sungguh ada seorang laki-laki mendatangi Abdullah bin Amr untuk bertanya mengenai seorang yang sedang ihram dan menyetubuhi istrinya. Kemudian Abdullah bin Amr menunjuk Abdullah bin Umar seraya berkata ‘Pergilah pada orang itu dan tanyakan hal itu kepadanya sedangkan laki-laki tersebut tidak mengenal Abdullah bin Umar’. Syuaib berkata, ‘Kemudian aku pergi bersamanya. Laki-laki itu lantas menanyakan masalahnya pada Abdullah bin Umar. Ibnu Umar menjawab, ‘Hajimu batal’, laki-laki itu bertanya lagi, ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Ibnu Umar menjawab, ‘Keluarlah bersama orang-orang dan kerjakan sebagaimana yang mereka kerjakan, jika telah tiba tahun depan maka hajilah dan bayarlah hadiah’. Laki-laki itu kembali lagi ke Abdullah bin Amr dan aku menyertainya, seraya menyampaikan jawaban Ibnu Umar. Abdullah bin Amr berkata, ‘Pergilah pada Ibnu Abbas dan tanyakan hal itu kepadanya’. Syuaib berkata, ‘Aku lantas pergi bersama laki-laki itu mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan masalah yang sama padanya, dan jawaban Ibnu Abbas sama seperti halnya jawaban Ibnu Umar’. Setelah itu kami kembali pada Abdullah bin Amr dan menyampaikan jawaban Ibnu Abbas. Laki-laki itu kemudian bertanya pada Abdullah bin Amr ‘Apa jawabanmu terjadap persoalan ini. Abdullah bin Amr berkata, ‘Jawabanku sama sebagaimana jawaban Ibnu Umar dan Ibnu Abbas’.
Baca juga: Menyoal Gadis Shalihah Bersama Nafsu dan Dosa Jariyah
Apabila hanya sekedar bercumbu rayu dengan pasangan dan tidak sampai melakukan senggama seperti mencium dan menyentuh pasangan dengan syahwat maka hanya dikenai kewajiban membayar fidyah dan tidak sampai mengakibatkan status haji atau umrah menjadi fasad.
Melihat sakral dan keagungan tanah haram maka tidaklah tepat membidiknya sebagai tempat untuk beribadah sekaligus destinasi untuk bersenang-senang bersama pasangan. Syekh Ali ash-Shabuni menjelaskan:
“Barang siapa yang mengharuskan dirinya melaksanakan haji maka dia tidak boleh mendekati perempuan dan bersenang-senang dengannya karena dirinya sedang menghadap Allah dan berusaha mendapatkan rida-Nya, dia juga harus meninggalkan syahwat, maksiat dan berdebat”.
Oleh: Nuril Anwar/Istinbat
Referensi:
Imam Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Bajuri, III/316, Darul Minhaj.
Imam Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh Nawawi, III/130, Maktabah Syamilah.
Imam Ali ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, I/129, Dar al-Quran al-Karim.
Syekh Mahfudz at-Termasi, Hasyiyah at-Termasi, VI/488-492, Darul Minhaj.
Imam Abu Bakar al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, V/167-168, Maktabah Syamilah.