Rakyat dan Penguasa: Harmoni dalam Sistem Musyawarah Rasulullah ﷺ

Rakyat dan penguasa merupakan dua kelas sosial yang hubungan mereka seringkali sulit harmonis. Keduanya kerap bertentangan dan bersaing untuk meraih ruang kendali. Ketika penguasa mendominasi, praktik-praktik kotor seperti ketidakadilan hingga kediktatoran kerap terjadi demi kepentingan ambisius mereka. Namun, ketika rakyat yang mendominasi, kondisi juga tak kalah parah: mereka bisa bertindak semena-mena, perselisihan merajalela, bahkan perilaku mereka melanggar norma-norma masyarakat.

Untuk mengatasi ketegangan ini, Rasulullah ﷺ hadir dengan membentuk sebuah sistem musyawarah sebagai akses penghubung antara dua kelas sosial tersebut—rakyat dan penguasa agar dapat berkolaborasi dan saling berpartisipasi dalam mencetuskan kebijakan.

            Secara istilah, musyawarah diartikan sebagai sistem penghimpunan pandangan dan pemikiran seseorang untuk dikaji, agar menghasilkan keputusan yang sesuai dengan kebenaran. Dengan artian, dalam musyawarah pemikiran setiap orang akan dihimpun dalam satu cover untuk dikoreksi, dengan metode yang relevan dan disepakati. Setelah diseleksi maka akan tampak mana pandangan yang terbaik untuk dijadikan pegangan, dalam mencetuskan kebijakan setiap masalah dari berbagai sisi.

Rasulullah ﷺ sangat konsisten menerapkan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan. Sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Sunan Tirmidzi dari Shahabat Abu Hurairah:

وَأخرج ابْن أبي حَاتِم عَن أبي هُرَيْرَة قَالَ: مَا رَأَيْت أحدا من النَّاس أَكثر مشورة لأَصْحَابه من رَسُول الله ﷺ

“Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah, beliau berkata: aku tidak pernah menyaksikan seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibanding Rasulullah .”[1]

Kisah-kisah dalam literatur hadis menunjukkan betapa seringnya Rasulullah ﷺ melakukan musyawarah dengan para Shahabat, terutama dalam ranah pertempuran dan berbagai peristiwa penting lainnya. Seperti operasi penggalian parit dalam peristiwa perang Khandak, atau operasi perebutan mata air dalam peristiwa perang Badar, Begitu juga Nabi melakukan musyawarah di saat hendak menyetujui kontak perjanjian dengan orang kafir, dalam peristiwa Hudaibiah, dan banyak peristiwa lainnya, yang membuktikan bahwa musyawarah memiliki peran penting dalam menghadapi berbagai kasus dan permasalahan untuk menemukan solusi.

Baca Juga: URGENSITAS VALIDASI DALAM ILMU HADIS

Rasulullah ﷺ melakukan musyawarah bukan karena membutuhkan saran, melainkan mengajarkan kita untuk tidak egois dalam menyelesaikan masalah. Kita tahu bahwa beliau mustahil terjerumus dalam kesesatan, dan para sahabat sangat antusias menjalankan segala perintah beliau. Namun, beliau tetap bermusyawarah, karena meskipun suatu pemikiran benar dan bermaslahat untuk umat, kita tetap memerlukan orang lain untuk memahami kerangka pemikiran tersebut. Jika tidak, mereka sulit menerima dan menganggapnya tidak berarti. Jika dipaksakan, akan terjadi perselisihan bahkan pemberontakan yang memutus hubungan antarsesama.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, bahwa tidak akan ada kerugian dalam bermusyawarah, karena keunggulan yang diperoleh sangat besar, dan urusan sebesar apapun pasti ditemukan solusi. Sebagaimana dalam hadis berikut yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath dari Shahabat Anas:

وَأخرج الطَّبَرَانِيّ فِي الْأَوْسَط عَن أنس قَالَ قَالَ رَسُول الله ﷺ: مَا خَابَ من استخار وَلَا نَدم من اسْتَشَارَ


“Rasulullah bersabda: Tidak ada yang gagal ketika beristikharah, dan tidak ada yang rugi ketika bermusyawarah.”[2]

Hal ini diperkuat dengan perkataan Shahabat Dhahhak yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim:

مأَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ بِالْمُشَاوَرَةِ إِلَّا لِمَا عَلِمَ مَا فِيهَا مِنَ الْفَضْلِ وَالْبَرَكَةِ


“Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya bermusyawarah kecuali karena mengetahui keutamaan dan keberkahan di dalamnya.”[3]

Demikian pula perkataan Hasan al-Bashri:

مَا شَاوَرَ قَوْمٌ قَطُّ إِلَّا هُدُوا لِأَرْشَدِ أُمُورِهِمْ

“Tidak ditemukan suatu kaum yang bermusyawarah kecuali urusan mereka mendapat petunjuk.”[4]

Musyawarah menghimpun anggota dari berbagai latar belakang yang berbeda, mendorong mereka untuk menyampaikan seluruh data dan pemikiran secara terbuka. Dengan begitu, penyimpangan sulit terjadi karena umat Islam akan selalu konsisten melakukan amar ma’ruf nahi munkar, tidak membiarkan kemaksiatan terjadi terang-terangan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ


“Kamu adalah umat terbaik yang diutus kepada manusia untuk melakukan amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman kepada Allah.”[5]

Oleh karena itu, tidak heran Nabi ﷺ memvonis bahwa umat Islam tidak akan sepakat dalam kesesatan, sebagaimana sabdanya:

«لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي مُحَمَّدٍ عَلَى ضَلَالَةٍ»


“Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan.”[6]

Hadis ini menunjukkan keistimewaan umat Nabi Muhammad ﷺ yang tidak dimiliki oleh umat sebelumnya.

Inilah manhaj kepemimpinan Rasulullah ﷺ dalam memutuskan kebijakan: tidak hanya berpihak kepada penguasa atau rakyat, tetapi mengajak keduanya untuk bekerja sama melalui musyawarah. Dengan demikian, keputusan yang dihasilkan dapat mencakup segala persoalan secara universal dan penyimpangan dapat diantisipasi. Maka, tidak mungkin ada keputusan yang lahir dari musyawarah kecuali merupakan kebenaran dan yang paling bermaslahat.[7]

Baca Juga: Ahmad Bin Hanbal: Amir al-Mukminin al-Hadis

Referensi:

  1. Imam al-Hafidhz Abil ‘Ala Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, (th:1424.h-2002.m)
  2. As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Khashaishul Ummah al Muahammadiyah, Indonesia: Haiatush Shafwah al Malikiyah, cet-9 (th: 2020.m)
  3. Imam Jalaluddin ‘Abdur Rahman bin Abi Bakr As Suyuthi,, ad Durrul Mantsur fit Tafsir al Ma’tsur, Beirut: Darul Kutub al Ilmiah, cet-1 (th:1421.h-2000.m)

Rian Maulidi/IstinbaT


[1] Sunan At-Tirmidzi, hadis no. 2143.

[2] Imam At-Thabrani, kitab al-Mu’jam Al-Ausath, dari Anas bin Malik.

[3] Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim, dari adh-Dhahhak.

[4] Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim, dari Al-Hasan  al-Bashri.

[5] Al-Qur’an, Surah Ali Imran (3):110.

 

[7] Al-Imam Al-Hafidz Abil ‘Ala Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, V/307Beirut: Darul Fikr, 1424 H/2002 M.

   As-Sayyid, Muhammad Alawi al-Maliki, Khashaishul Ummah al-Muahammadiah, Indonesia: Haiatush Shafwah al-Malikiyah, cetakan 9, 2020 M, hal. 41.

   Imam Jalaluddin ‘Abdur Rahman bin Abi Bakr As-Suyuthi, Ad-Dur al-Mantsur fit Tafsir bil-Ma’tsur, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1421 H/2000 M, jilid 2, hal. 152.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *