Urgensitas mata rantai dalam studi hadis
Ibnu al-Mubarak berkata:
إِنَّ الْإِسْنَادَ مِنَ الدِّيْنِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادَ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad merupakan bagian dari agama, Andai saja tidak ada sanad, niscaya orang-orang akan berkata sesuka hatinya”.
Dalam perjalanannya, hadis merupakan salah satu dasar hukum dalam agama Islam. Selayaknya sebagai sebuah landasan hukum, tentunya ulama tidak akan sembrono dalam mengambil dan memperoleh hadis. Sebab hal ini akan menimbulkan kekacauan di kemudian hari. Di dalam sejarah hadis, perjalanan hadis-hadis yang telah disampaikan oleh Nabi dan diriwayatkan oleh para sahabat tidak mengalami permasalahan, atau bisa dikatakan hadis-hadis yang beredar pada zaman tersebut merupakan hadis-hadis yang murni berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, kondisi tersebut berubah tatkala umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan.
Setiap kelompok menopang argumentasinya dengan al-Quran dan al-Hadis. Sebagian dari mereka berupaya menakwilkan al-Quran dan menafsirkan beberapa nash hadis dengan arti yang menyimpang. Namun usaha mereka ini tidak membuahkan hasil karena keberadaan jumlah penghafal al-Quran dan para ulama dari kalangan sahabat masih sangat banyak. Keadaan tersebut menyebabkab mereka berupaya mengubah dan memasukkan tambahan ke dalam hadis dan melakukan pemalsuan atas nama Rasulullah SAW.1
Hadis-hadis palsu mulai bermunculan bersamaan dengan munculnya berbagai macam kelompok itu. Para pemalsu membuat hadis untuk dijadikan sebagai senjata untuk menyerang kelompok lain, dan sebaliknya kelompok yang lain juga membuat hadis palsu untuk membela diri. Demikian seterusnya, sehingga muncul sekumpulan hadis palsu yang berhasil diungkap oleh para ulama.
Munculnya hadis palsu diperkirakan dimulai tahun 41 H. Pada masa Tabiin, pemalsuan hadis lebih sedikit dibandingkan dengan pada masa Tabi’ at-Tabi’in, karena masih banyak Sahabat dan Tabiin yang mengamalkan hadis. Sehingga dapat membedakan mana hadis yang asli dan yang palsu.2
Sebab Munculnya Hadis Maudhu’
Ada beberapa faktor yang mendorong pemalsuan hadis. Pertama, fanatisme golongan. Dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abi al-Hadid berkata, “Pertama kali kedustaan dalam hadis adalah hadis tentang keutamaan (fadhilah) yang dilakukan oleh Syiah”. Sejak pertama, mereka memalsukan hadis yang berbeda mengenai diri Sayyidina Ali . Pemalsuan hadis tersebut didorong rasa permusuhan terhadap para lawan. Ketika al-Bakriyah (pendukung Abu Bakar) melihat apa yang dilakukan Syiah, mereka pun memalsukan hadis mengenai diri Abu Bakar sebagai tandingan hadis yang dibuat Syiah.
Syiah membuat banyak hadis dan mengubah sebagian hadis sesuai dengan keinginan mereka. Mereka memalsukan hadis-hadis tentang sisi positif Ali dan hadis yang menonjolkan sisi negatif Muawiyah dan para pendukung Bani Umayah. Mereka juga menjelek-jelekkan Abu Bakar, Umar dan Sahabat lain.
Kedua, Usaha untuk menjelekkan Islam. Setelah kehadiran Islam, kekuasaan Kisra dan Kaisar roboh. Lalu mereka tidak mampu untuk membalas dendam dengan pedang karena kekuasaan Islam telah sedemikian kokoh. Maka mereka berusaha menjauhkan kaum muslimin dari akidahnya dengan cara menciptakan kebatilan dan kedustaan atas nama Rasulullah SAW. Hal itu mereka lakukan untuk menodai citra Islam.
Mereka lebih membahayakan Islam daripada kelompok yang lain. Diantara mereka ada yang keterlaluan dalam mendustakan hadis, seperti al-Karim bin al-Auja’. Ia berkata, “Demi Allah sungguh aku telah membuat hadis-hadis untukmu sebanyak 4000 hadis. Hadis itu mengharamkan apa yang halal dan juga sebaliknya.”
Ketiga, Diskriminasi Kelompok dan Fanatisme Golongan, Negara dan Imam. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayah, penguasa Dinasti itu mengandalkan etnis Arab. Sebagian mereka bersikap fanatik terhadap kebangsaan Arab dan Bahasa Arab. Maka muncullah kelompok Mawalli (kaum muslimin non-Arab), yang berupaya mewujudkan persamaan hak antara kaum muslimin non-Arab dengan etnis Arab. Mereka memanfaatkan sebagian besar gerakan pemberontakan dengan cara bergabung ke dalamnya untuk mewujudkan keinginannya. Selain itu, mereka berupaya menandingi kebanggan etnis Arab. Inilah yang mendorong mereka memalsukan hadis-hadis yang isinya menjelaskan kelebihan-kelebihan mereka.
Selain hadis palsu yang berbicara tentang bahasa, etnis dan kabilah, hadis palsu juga dibuat tentang kelebihan satu negara atau imam tertentu. Mereka berdalil dengan sebuah hadis sahih yang sudah dimodifikasi yang berbunyi, ” Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di neraka.” Dengan ditambahi lafal ” secara sengaja untuk menyesatkan manusia.” Mereka berargumen, “kami berdusta untuk kebaikan beliau, bukan untuk menodai beliau”. 3
Pada zaman ini sangat penting bagi kita untuk memperhatikan hadis-hadis yang beredar diantara kita, karena hal ini dapat mempengaruhi terhadap keyakinan, baik keyakinan kepada agama atau hal-hal lain. Demikian ini juga bisa menimbulkan perpecahan antar sesama umat Islam jika didorong rasa fanatisme golongan. Meskipun hadis-hadis tersebut sering kita dengar, kita harus memastikan terlebih dahulu kesahihannya sebelum menjadikannya dalil atau mengajarkannya. Sebab, ada beberapa hadis yang menurut ulama maudhu’ tapi sangat terkenal di tengah kita seperti حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْاِيْمَانِ “ cinta tanah air sebagian dari iman ”.
Maka dari itu, kita perlu melakukan studi kritik hadis lewat mata rantainya untuk megetahui status dari hadis tersebut, apakah hadis palsu atau tidak. Kita bisa mengetahui hadis-hadis palsu dengan membaca keterangan para ulama atau buku-buku yang mereka karang seperti kitab al Maudhu’at, karya Ibnul Jauzi atau al Laali’ al Mashnu’ah fil Ahadis al Maudhu’ah karya Ibnu Iraq al-Kinani. Wallahua’lam.
Oleh: Redaksi
Refrensi: